I’m Possible (dikutip dari I’m Possible on MetroTV Edisi Minggu, 7 Februari 2017 pukul 20.30-21.30 WIB ‘Rezeki Monyet’)

Rezeki itu tergantung kita mendefinisikannya seperti apa, apakah harus dijemput atau datang dengan sendirinya. Kalau rezeki datang dengan sendirinya berarti kita diam dan hanya menunggu. Tapi kalau rezeki itu dijemput berarti kita harus aktif bergerak, sama halnya dengan monyet. Kalau kita sadar rezeki itu harus dijemput dan kita harus bergerak artinya kita take action. Nah, take action dulu baru sukses atau sukses dulu baru take action? Jelas harus take action dulu. Take action ini berkali-kali, bukannya sekali. Ketika kita menembakkan anak panah ke sasaran, yang pertama kita akan gagal. Berikutnya kita mencoba lagi tapi gagal lagi. Semakin banyak kita mencoba, semakin sering kita gagal tapi kita akan selalu belajar dari kesalahan yang pernah kita lakukan. Semakin lama pelajaran yang kita dapat tersebut, anak panah yang dilepaskan semakin mendekati pusat sasaran. Jadi, semakin banyak kita take action maka peluang untuk sukses semakin besar. Kalau kita take action hanya sekali maka peluang sukses semakin kecil. Take action, take action, take action, pasti sukses.

Rezeki mencakup 3 hal, yaitu bagaimana kita memandang diri, kehidupan, dan Tuhan. Kalau kita memandang diri kita layak mendapat rezeki maka kita akan mendapatkannya dan sebaliknya. Kalau kita menganggap kehidupan itu indah maka kita akan menikmati proses mendapatkan rezeki. Kalau kita merasa kita dekat dengan Tuhan dan selalu berdoa kebaikan maka rezeki pun mudah dijemput, begitu pula sebaliknya.

Kalau sudah dapat rezeki, apakah sudah cukup sampai di situ? No! Keluarlah dari zona nyaman! Zona nyaman belum tentu aman tapi zona yang tidak nyaman pasti akan lebih menjanjikan. Pekerjaan, penghasilan, dan status yang kita miliki saat ini belum tentu masih kita miliki di masa depan. Orang yang berhenti belajar atau berusaha maka dia adalah pemiliki masa lalu sedangkan orang yang terus belajar dan berusaha maka dia adalah pemilik masa depan.

Ada sebuah cerita antara angin-angin dan seekor monyet. Ada ketiga angin dahsyat yang akan berkompetisi untuk mencari tahu siapa yang terkuat sehingga mampu menjatuhkan monyet dari pohon. Angin pertama, topan. Angin topan menghampiri monyet tetapi monyet gagal jatuh karena berpegangan kuat dengan pohon. Begitu pula yang terjadi ketika monyet diterpa tornado dan fohn. Kemudian datanglah angin sepoi-sepoi yang ingin menyusul kompetisi. Ia ditertawai oleh ketiga angin sebelumnya. Angin sepoi-sepoi kemudian berhembus perlahan di atas ubun-ubun monyet. Kemudian monyet tertidur, melepaskan pegangannya pada pohon. Akhirnya monyet jatuh. Saat kita berada dalam tantangan, bahaya, dan cobaan maka kita selalu dekat dengan Tuhan. Namun saat kita dalam keadaan bahagia dan banyak rezeki, kita cenderung lengah. Itulah zona nyaman.

Saya lulusan X tapi untuk bekerja di bidang yang berhubungan dengan jurusan saya kemungkinannya sangat kecil. Bagaimana?

Hidup itu tidak mesti harus ideal sesuai jurusan. Kesempatan apapun yang ada, gunakanlah. Siapa tahu setelah itu menemukan minat dan keunggulan kita. Rezeki bukan masalah apa pekerjaan kita tapi bagaimana kita bisa maksimal dalam menjalankan pekerjaan. Atau bisa juga kita bekerja yang walaupun tidak sesuai dengan jurusan kita, kita sesuaikan dengan tipe kepribadian. Sebagai contoh, orang bertipe kepribadian INFJ yang ada dunia contonya seperti A, B, C, dan seterusnya. Ada kemungkinan kita juga cocok di situ. Yang jelas kita harus punya keunggulan, yaitu hal yang membuat kita berbeda dari yang lain. Hal yang unik, hanya dimiliki kita sendiri. Keunggulan membuat nilai plus untuk diri kita. Jangan batasi diri kita. Tujuan kita sekolah dari TK, SD, SMP, SMA, S1, S2, dan S3 apa sih? Supaya kita bisa melakukan banyak hal, kan? Bukan untuk membatasi diri. Ya walaupun cakupan ilmu makin sempit, kita bisa menambahnya dengan skill yang lain.

Bagaimana agar kita makin maksimal?

Pertama, tentukan keputusan/pilihan yang benar! Mau memperdalam atau mengembangkan? Kalau memperdalam berarti kita spesialis. Ciri orang spesialis adalah hobi dan minat yang dimiliki masih sejenis/serumpun, tidak memiliki kemampuan untuk membagi fokus. Ketika ingin memperoleh sesuatu (contoh: jodoh), hanya menggunakan satu target yang fokus. Jika satu target berpaling maka kemudian mengganti satu target yang lain. Kalau kita memilih untuk mengembangkan maka berarti kita generalis. Ciri orang generalis adalah memiliki kemampuan membagi fokus. Hobi dan minat yang dimiliki bervariasi jenis/rumpunnya. Ketika ingin memperoleh sesuatu (contoh: jodoh) maka semua calon sasaran dipertimbangkan secara keseluruhan kemudian baru dipilih salah satu di akhir.

Kedua, gigih! Gigih itu bukan pikiran tapi perasaan. Kerja keraslah! Semangatlah!

Ketiga, be smart! Kalau kita sudah benar pilihannya, perasaan sudah optimis diiringi kegigihan tetapi otak kita zonk maka percuma. Jadi, belajarlah dengan cerdas! Perbanyak wawasan dan pengetahuan dari membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan lain-lain.

Saya seorang marketing. Sudah sering kunjungan tapi hasilnya itu-itu saja, kalaupun meningkat hanya tipis. Bagaimana?

Kunjungan bukan berarti tak ada arti. Namun, apakah kunjungan atau usaha berkali-kali itu hanya mengulang kesalahan yang sama atau selalu menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya? Sebagai seorang marketing atau apapun, kita bisa minta evaluasi dari orang lain agar masukan mereka dapat dijadikan bahan untuk perubahan kualitas kita ke arah yang semakin baik.

Rezeki itu bukan sekadar materi. Tapi keluarga, kebahagiaan, iman, keselamatan, dan segala kebaikan merupakan rezeki dari Tuhan. Rezeki tidak hanya untuk dicari tetapi juga disyukuri. Kita sadar kalau kita orang biasa tapi yakinlah bahwa kita akan tumbuh menjadi orang yang luar biasa. Because I’m possible!


No Comments so far.

Leave a Reply