Archive for November, 2020

Wonderful Family

Tuesday, November 3rd, 2020

Sleman, 3 November 2020

Wonderful Family

(karya Cahyadi Takariawan)

Buku ini merupakan kado pernikahan Mbak E dan Mas A dari temannya. Sepaket dengan Wonderful Wife dan Wonderful Husband. Diawali dari definisi wonderful family menurut penulis, yaitu keluarga yang sakinah (ada/membuat ketenangan), mawaddah (penerimaan yang cenderung berdasarkan hal lahiriah atau alasan logis idealis—cenderung pada usia muda), dan rohmah (penerimaan tanpa alasan—cenderung pada usia tua). Ada sepuluh catatan. Berikut saya ulas secara ringkas dengan dibumbui sebagian kecil hal yang saya dapat dari luar buku ini.

Catatan pertama: motivasi keluarga. Hendaknya motivasi keluarga adalah ibadah, sebagai jalan yang bertanggung jawab untuk membentuk peradaban mulia dan kebudayaan agung. Tidak boleh ada bosan, bukan pula karena tren, dan tidak ada istilah simpanan. Keluarga adalah amanat dari Tuhan. Pernikahan dan keluarga adalah ibadah sepanjang hayat untuk dunia akhirat. Jangan ada pelarian. Jangan mudah tergoda, meski kita tahu bahwa rumput tetangga lebih hijau. Percayalah, hidup itu sawang sinawang. Kalau kecewa, jangan berlebihan. Apapun yang terjadi, dikembalikan kepada motivasi.

Catatan kedua: jadikan surga sebagai visi keluarga. Jangan berjalan tanpa arah. Kalau sudah tetapkan visi atau tujuan, tentunya kita akan merencanakan, mengatur rute, dan membidik sasaran. Kalau dirasa mulai ada penyimpangan atau penyelewengan, ingat-ingat kembali, apakah ini akan membawa kita ke surga? Lalu segera kembali ke jalan yang benar.

Catatan ketiga: wkwk ampun deh judulnya peta kasih. Sadarlah bahwa keluarga merupakan makhluk hidup berupa manusia, sifatnya dinamis. Setiap manusia pada dasarnya mengalami perubahan meskipun sedikit demi sedikit. Mungkin kalau LDR atau sudah bertahun-tahun tidak bertemu, perubahan terasa. Tapi kalau tinggal bersama setiap hari, tidak terasa. Yakinlah, sesungguhnya tetap ada perubahan. Jadi gimana supaya tahu perubahannya? Ya ngobrol aja pada kesempatan yang ada. Spontan ok, tidak perlu diagendakan secara khusus gitu lho jadi kaku. Apa sih pentingnya? Ya penting. Soalnya, mungkin kita berpikiran akan membahagiakan pasangan dengan memberikan hadiah (kejutan). Jangan sok-sokan ngasih kejutan, ternyata yang diberikan bukan yang dibutuhkan. Rugi, kan? Ya bukannya si yang diberi tidak mau bersyukur, tapi lebih tepatnya, pasti yang diberi pengen menerima kalau yang diberikan adalah kebutuhan mendesak (bukan sekadar keinginan semata).

Catatan keempat: rasa suka (weleh-weleh). Selalu lihat kebaikan pasangan Anda. Jangan hanya karena dia melakukan kesalahan sedikit, kemudian Anda ingat-ingat bahkan dicatat. Sudahlah, lupakan keburukannya. Anda pasti juga punya salah. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Jangan. Kemudian kalau Anda atau pasangan Anda melakukan kewajibannya, jangan anggap itu hal yang sederhana atau sepele, karena kewajiban yang terlaksana adalah suatu kebaikan, bahkan luar biasa. Kebaikan lho. Kenapa? Karena tidak semua orang bisa menunaikan kewajibannya. Bayangkan kalau dia sedang tidak bisa melakukannya (entah karena sakit, jauh, atau karena hal lain). Bahkan Lukman Al Hakim menasihati anak-anaknya untuk ingat kepada Tuhan dan kematian, sedangkan yang dilupakan adalah kebaikan kita pada orang lain dan kejelekan orang lain pada kita. Jadi, jangan mengungkit-ungkit kesalahan atau mengingat kejelekan pasangan Anda. Maafkanlah sesama. Kenali kelemahan dan kekurangan diri sendiri untuk disadari. Jaga perasaan.

Catatan kelima: kesepakatan (hmm…). Pekerjaan rumah tangga bukan hanya urusan perempuan lho. Apa lagi pada zaman sekarang, kebutuhan yang lebih besar membuat perempuan mau tidak mau turut membantu suami bekerja. Kalau sudah seperti ini, peran tiap anggota keluarga perlu disepakati. Siapa yang bertugas membersihkan ini, siapa yang bertugas membuat itu, dll. Kita semua sama-sama sibuk kok. Kita semua juga sama-sama hanya diberi waktu 24 jam dalam sehari, terbatas sekali. Jangan jadikan pekerjaan rumah tangga sebagai beban. Kalau rumah bersih, kan yang senang tidak hanya satu orang, tapi semuanya kan?

Catatan keenam: perbedaan (wow). Jangan heran kalau antara suami dan istri sering terkaget-kaget, lho kok suami saya begini, lho kok istri saya begini. Wajar dong. Bahkan yang sudah kakek-nenek saja masih sangat mungkin untuk begitu. Laki-laki dengan perempuan itu berbeda. Suami dan istri adalah dua orang yang berbeda, berasal dari dua keluarga yang berbeda, berasal dari dua kultur makro dan kultur mikro yang berbeda. Pokoknya beda! Struktur otaknya beda. Laki-laki lebih banyak diam, sedangkan perempuan lebih banyak bicara; laki-laki tidak bisa nyabang pikiran/pekerjaan, perempuan bisa. Laki-laki memang cenderung menggunakan akal dengan porsi lebih, sedangkan perempuan menggunakan perasaan dengan porsi lebih. Sampai-sampai, menangis bisa jadi dijumpai beberapa kali dilakukan oleh perempuan. Bukan karena cengeng lho, melainkan sebagai ungkapan perasaan (senang atau kebalikannya). Ungkapan verbal lebih disukai perempuan, sedangkan laki-laki cukup dengan ungkapan non-verbal. Maka, jangan pelit memuji istri. Wkwk. Perempuan lebih senang atau merasa dicintai jika diperhatikan, sedangkan laki-laki lebih senang atau merasa dicintai jika dipercaya. Pandangan terhadap masalah yang sama pun bisa berbeda lho, antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki cenderung menganggap masalah yang terjadi adalah hal biasa, sedangkan perempuan bisa jadi menganggap itu adalah masalah besar. Meskipun ada banyak perbedaan, hendaknya ada toleransi dan saling memahami.

Catatan ketujuh: ngomong. Ngomong woi ngomong. Komunikasi. Jangan pelit. Komunikasi bisa lewat apa aja lho. Lihat sikon, tapi diusahakan fleksibel (tidak kaku). Mulai belajar bahasa non-verbal ya. Jadilah pendengar yang baik, jangan sok-sokan motong atau ngasih komentar/masukan jika tidak dibutuhkan. Kalau merasa ada sekat psikologis atau bentang pemisah, coba hilangkan. Pakai kata-kata yang enak didengar, dikemas dalam bahasa yang lembut dan bijak. Meskipun ada banyak cara, pakai media yang tepat.

Perlu kita sadari bahwa ada beberapa kendala komunikasi, di antaranya adalah perbedaan status, masalah semantik dan distorsi persepsi, perbedaan kultur, gangguan fisik, gangguan media (sinyal), atau ketiadaan tanggapan dari salah satu pihak. Utamakan komunikasi langsung daripada media ya. Beda lho rasanya. Pertemuan itu penting, baik berupa kuantitas maupun kualitas. Maka keluarga yang pisah-pisah itu harus tahu batasnya sampai kapan, atau bakal ketemuan setiap berapa waktu sekali. Hehe. Tapi kalau lagi pandemi gini susah juga ya. Kalau sudah bertemu, apa yang paling berkesan? Kalau kata penulis sih sentuhan. Berdasarkan ulasan penulis, sentuhan berupa pelukan bisa memproduksi neurotransmitter yang akan mengirimkan hormon Endomorfin—hormon yang mampu menurunkan ketegangan saraf dan tekanan darah. Bahkan pada beberapa cerita, ketika ada pasangan yang otw cerai, ditantang untuk berpelukan sekian kali dalam sehari. Hasilnya, mereka tidak jadi bercerai. Jadi, berpelukan bisa merobohkan benteng layaknya tembok Berlin demi persatuan. Pelukan orang tua kepada anaknya juga tidak kalah penting, salah satunya bisa menenangkan anak yang menangis.

Catatan kedelapan: badai. Berkeluarga diibaratkan menaiki perahu yang mengarungi samudra—kadang gelombang bersahabat, kadang besar—ada kebahagiaan sekaligus kesusahan di dalamnya. Katanya, nikmati saja kemelut perjalanannya. Tidak ada keluarga yang senang terus atau sedih terus. Dalam kesenangan, harus bersyukur. Dalam kesedihan, harus bersabar dan tetap bersyukur. Ada masalah, tenang dulu. Ambil sikap positif dalam menghadapi konflik. Sadari bahwa konflik adalah hal yang wajar. Ibarat cuci piring juga sih. Kalau diam aja kan tidak enak. Cuci piring itu mesti bunyi, asal janagn sampai pecah. Konflik dalam keluarga bukanlah kesalahan salah satu pihak. Setiap pihak pasti ada andilnya juga, entah seberapapun porsinya. Kalau A benar, bukan berarti B salah dan sebaliknya kalau A salah, bukan berarti B benar. Mengalah dan meminta maaf duluan bukan berarti kalah, toh untuk kebaikan bersama kan? Maafkan kalau sudah dimintai maaf. Jangan pelit. Ada yang bilang kalau konflik itu karena ekonomi—bisa jadi salah satunya, tetapi tidak selalu. Nyatanya, orang berpendapatan biasa namun di sisi lain, ada saja orang yang berpendapatan lebih justru masih merasa kekurangan. Semuanya relatif. Yang penting, selalu bersyukur dan bersabar.

Ngomong-ngomong soal konflik, berikut adalah sedikit petunjuk praktis manajemen konflik dalam rumah tangga. Sebelum terjadi konflik: (1) bangun kesepakatan bersama—bicarakan saat sedang tenang—berandai-andai kalau kita lagi punya konflik, gimana jalan keluarnya; (2) kuatkan motivasi bahwa berkeluarga/berumah tangga adalah ibadah; (3) kuatkan visi keluarga bahwa kita sama-sama mau ke surga; (4) miliki keterampilan dalam berkomunikasi. Ketika terjadi konflik: (1) redam emosi dan kemarahan dalam-dalam; (2) kembalikan pada motivasi ibadah dan visi surga; (3) laksanakan kesepakatan yang pernah dibuat sebelumnya, bagaimana cara keluar dari konflik; (4) jangan berpikir saklek hitam putih siapa benar siapa salah, semua punya andil; (5) selesaikan berdua saja, tidak perlu diumbar, sadari bahwa masalah itu milik berdua (bukan salah satu saja); (6) jangan memperlihatkan konflik di depan anak-anak. Setelah konflik: (1) lupakan, jangan ungkit; (2) minta maaf dan memaafkan; (3) fokus kembali melihat sisi kebaikan pasangan; (4) berpikir positif; (5) jangan umbar konflik ke orang lain hehe.

Catatan kesembilan: suasana—redakan ketegangan, hadirkan kehangatan. Ketegangan antara suami dan istri dalam keluarga bisa saja terjadi karena hal-hal kecil dan tidak esensial. Sudahlah, kalau masalah kecil anggap saja bukan masalah. Tahu contohnya? Biasanya terjadi pada ‘menit-menit terakhir’. Misal, berapa menit sebelum berangkat sekolah dan kerja, ada kelupaan atau kurang kaus kaki, eh kurang jam tangan, atau malah seragam sekolah anak. Yang disalahkan siapa, padahal siapa sudah bertanggung jawab, yang lupa siapa. Hadeh. Makanya, selalu siapkan waktu luang (sekitar 10 menit dari jam seharusnya) supaya kalau ada yang kurang, masih bisa terselamatkan. Selain itu, perlu toleran terhadap kekurangan masing-masing. Lihat kebaikannya. Cobalah terbuka dan bermusyawarah dalam keluarga sebelum melakukan sesuatu yang melibatkan berbagai pihak pada waktu yang ditentukan (contoh: rekreasi atau acara keluarga, bentuk panitia atau masing-masing penanggung jawab) dan capai dalam bentuk kesepakatan. Musyawarah dalam keluarga ternyata juga menjadi modal anak-anak berani bersosialisasi di luar lho.

Catatan kesepuluh: generasi. Ya, fungsi keluarga di antaranya adalah memberikan pendidikan bagi anak-anak agar kelak menjadi manusia yang beriman dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Sadari bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama dalam membentuk jati diri generasi penerus. Anak-anak adalah aset bagi keluarga, sekaligus aset bagi bangsa dan negara karena modal dasar perkembangan kepribadian anak berdampak pada masa dewasanya nanti.

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa saat ini globalisasi turut mengubah keluarga konvensional. Keluarga konvensional sebagaimana yang kita kenal seperti solidaritas, saling menerima, saling percaya, saling tergantung, dan saling memenuhi keinginan/kebutuhan dianggap (hampir) sudah tidak zaman. Hmm… Struktur keluarga pun berubah, mungkin peran pendidik dalam keluarga mengalami pergeseran.

Jadi bagaimana? Ya pertahankan dong, fungsi pendidikan dalam keluarga. Ada apa saja? (1) pendidikan iman—agama itu penting, nomor satu; (2) pendidikan moral—biasakan normatif; (3) pendidikan emosi—bangun karakter positif seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap optimistis, dst, seimbangkan IQ EQ dll; (4) pendidikan fisik/jasmani—biasakan pola hidup sehat, makan yang sehat dan olahraga teratur; (5) pendidikan intelektual—supaya logis dan nalar jalan, tidak menuruti hawa nafsu—bisa dengan matematika dan bahasa; (6) pendidikan sosial—jangan bangga kalau anak terhindar masalah hanya karena tidak ke luar rumah, ingat bahwa manusia perlu manusia lain dan itu adanya di luar rumah, maka harus berjiwa sosial dan menebarkan kontribusi positif; (7) pendidikan seksual—membedakan antara laki-laki dan perempuan sehingga mengetahui batasan masing-masing untuk saling menghormati; serta (8) pendidikan politik—institusi keluarga adalah negara mini bagi anak, jika anak patuh dalam keluarga maka ia akan menjadi warga negara yang baik karena terbiasa patuh pada peraturan. Pokoknya, pendidikan dalam keluarga itu penting sekali karena memberikan pengaruh besar pada karakter manusia.

Sebagai catatan penutup, penulis berpesan agar tiap pihak jangan meremehkan hal kecil. Pihak satu jangan secara sengaja melakukan hal yang tidak disukai pihak lain, contohnya begitu.

Demikian yang dapat saya sampaikan. Ya saya tahu, lebih mudah menulis atau berbicara daripada mempraktikkan. Semua kembali kepada pendapat masing-masing, yang penting motivasi dan visinya ya.

 

Salam,

Novi