Archive for the ‘Life Experience’ Category

Pernah Nggak, Sih?

Monday, February 12th, 2024

Pernah nggak, sih? Pernah nggak, merasa aneh, kenapa kuliah lagi? Pernah dong! Terus merasa bersalah, kenapa nggak kerja kayak teman aja ya, apa aja boleh deh. Wkwk. Pernah bro, sis, pernah.

Tapi, entah kenapa kalau minta petunjuk sama Yang Mahakuasa, rasa-rasanya seperti diarahkan untuk kuliah lagi.

Padahal, sebagai seorang perempuan, kekhawatiran itu ada aja. Tapi ya gimana ya, wkwk.

Setelah direnungkan, hmm… Belum tentu lho, kita bisa setangguh orang lain di dunia kerja yang jauh lebih serius.

Juga, tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti yang kita punya. Jadi, menurut saya, kuliah dengan sungguh-sungguh itu juga salah satu bentuk rasa syukur terhadap pemberian Allah SWT. Jangan lupa, ilmu agama harus lebih diutamakan.

Nah, bukan berarti kuliah itu tidak ada tantangannya. Jelas ada!

Terus kalau soal jodoh gimana? Tuhan yang mengatur. Semoga tetap ada, ya. Husnuzon saja, kalau kuliahnya dari sekarang, nanti ga usah mikir kuliah lagi. Jadi, nanti tinggal enak-enak. Eh, wkwk.

Jangan lupa, setiap hari tetap belajar tentang kehidupan. Never give up for hard fight.

Pilihan, Penolakan, dan Skenario Terbaik

Sunday, August 8th, 2021

Pilihan, Penolakan, dan Skenario Terbaik

Hayo, pada ngira apa? Jangan terjebak dengan judul. Kadang, judul bersifat clickbait. Belakangan ini banyak teman yang menikah. Mungkin itu hanya salah satu pengantar kenapa saya menulis ini. Namun, itu bukanlah alasan utama. Sejatinya saya sudah lama ingin menulis ini. Sekaranglah waktu yang baru memungkinkan.

Pilihan adalah ketika kita dihadapkan pada lebih dari satu hal untuk mencapai sesuatu. Entah bagaimana caranya, pokoknya harus milih. Nggak bisa semuanya, bahkan meskipun hanya dua. Satu, satu itulah yang harus dipilih. Sebenarnya ketika kita memilih, bentuknya baru berupa usulan, kan? Usulan yang berupa usaha memilih, diiringi dengan doa. Ada kalanya pilihan itu diteruskan dan menimbulkan pilihan-pilihan lainnya. Ada pula kalanya suatu pilihan harus dihentikan karena berbagai hal. Melalui perantara-Nya, usulan kita di dunia diputuskan, apakah layak lanjut atau ditolak sehingga harus dialihkan ke pilihan yang lain. Itulah, skenario. Bagi rekan-rekan yang pernah mengalami hal serupa, saya yakin Anda akan mengiyakan bahwa skenario terbaik adalah skenario dari Yang Mahakuasa setelah kita menyerahkan perkara kepada-Nya.

Kenapa sih Novi nulis ini? Ya, saya menulis ini bukan tanpa alasan. Jelas, saya menulis ini karena saya ingin menunjukkan bahwa saya memilih sesuatu bukan semata-mata karena saya ingin mengejar suatu hal. Saya ingin menunjukkan bahwa kadang, saya memilih sesuatu karena menghindari suatu hal (motivasi eksternal, dihindari), di samping saya juga punya motivasi internal atau yang diinginkan. Saya pun melakukannya sebagian besar dengan sadar dan konsekuen. Mungkin ada yang berpikiran abc … xyz. Biarlah, kan saya yang mengalami. Kenapa saya harus memikirkan netijen? Mau jungkir balik kayak apa, kalau memang ternyata hasil dari pilihan itu adalah lanjutan atau penolakan, sama saja kan?

Saya belum menikah dan bekerja secara tetap sehingga yang lebih tepat untuk diceritakan adalah soal pendidikan. Terhitung menuju SMP, saya dihadapkan pada pilihan yang cukup berat bagi saya. Saya bersyukur dipertemukan oleh seorang guru di pengajian yang mengajarkan saya bagaimana ketika harus memilih perkara. Awalnya saya mempraktikkan ajarannya hanya untuk iseng, toh waktu itu belum baligh. Ternyata, hal itu memberikan dampak besar bagi kehidupan saya. Tidak perlu heran kalau saya menjumpai guru-guru lain yang mengajarkan hal sama, karena sumber/hulunya sama, yaitu utusan-Nya.

Sebelum lulus SD 2008, ada pengumuman pendaftaran kelas akselesari di SMPN 1 Kota Bengkulu. Saya waktu itu heran, kok sudah ada pengumuman di koran ya? Padahal kan saya baru kelas VI semester II, belum UASBN. Ternyata memang begitu prosedurnya. Mereka mencari bibit unggul lewat nilai rapor dan serangkaian tes sebelum UASBN. Saya sadar bahwa saya berasal dari SD yang kurang diperhitungkan di kota. Saya tidak ingin mengikuti seleksi. Tapi, kenapa tidak? Kedua kakak kandung saya adalah alumni SMP tersebut. Siapa tahu anak terakhir dapat bonus bisa masuk kelas aksel? Lumayan kan, bisa hemat 1 tahun cukup SMP dalam durasi 2 tahun. Baiklah, saya mulai dengan seleksi berkas. Kedua orang tua juga mendukung. Alhamdulillah, lolos. Kemudian saya mengikuti tes pertama. Alhamdulillah, lolos lagi. Di sini, saya bertemu dengan dua rekan saya di SD. Yang satu HVMS, rekan SD sejak kelas III semester II karena sebelumnya dia SD di tempat lain. Satunya lagi PW, rekan SD sejak kelas I tetapi pindah setelah naik ke kelas IV. Saya tidak tahu apakah mereka lolos ke tes kedua atau tidak. Yang jelas, saya sudah tidak menjumpai mereka lagi saat saya tes kedua. Apa mungkin mereka tes di ruangan yang lain? Entahlah. Konyol, sekonyol-konyolnya. Saya tidak tahu kalau ternyata tes kedua adalah tes IQ yang harus dikerjakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Saya kira, sama dengan tes biasa yang durasinya panjang dan boleh bolak-balik soal halaman berapapun. Bukannya lanjut terus sampai halaman terakhir, malah ngecek ulang jawaban pada satu halaman. Kalah telak di perhitungan, akhirnya. Saya kemudian menata kembali cara menjawab soal di paket tes IQ berikutnya. Hmm… Jelas sudah, berakhir harapan saya untuk bisa lolos ke tahap berikutnya.

Sebenarnya, setelah mendapat kabar lolos ke tes kedua, saya sempat bertanya kepada Ibu. Dengan pedenya menanyakan soal bagaimana kalau seandainya saya lolos terus dan diterima masuk kelas aksel? Apakah ada biaya masuk kelas aksel? Biayanya kan pasti lebih mahal daripada kelas reguler. Lalu, bagaimana pula dengan rencana kita ke Jogja? Bukannya Papa mau sekolah lagi? Terus kalau saya ikut aksel nggak bisa pindah ke Jogja dong, dan nggak akan bisa melihat keponakan pertama yang baru lucu-lucunya di Jogja. Haiyyah… terlalu panjang saya berpikir. Hingga akhirnya semua bayangan itu sirna ketika saya tahu bahwa saya tidak lolos tes IQ. Artinya apa? Papa bisa ke Jogja dengan membawa semua anggota keluarga. Saya pun bisa ikut ke Jogja dan akan melihat keponakan saya.

Ketika sudah jelas bahwa saya tidak akan masuk kelas aksel, juga karena akan pindah ke Jogja… Artinya keinginan saya untuk sekolah di SMPN 1 Kota Bengkulu terlupakan begitu saja. Saya dialihkan di kota yang lain. Hmm… menarik, sepertinya.  Padahal udah sok-sokan ngafalin marsnya SMPN 1 Kota Bengkulu. Wkwk. Baiklah, saya tidak tahu kalau di Jogja akan sekolah di mana. Setahu saya, Yogyakarta adalah kota pelajar. Saya berpikir bahwa semua sekolah pasti bagus. Ya sudah, asal pilih saja kali ya? Tapi kok rasa-rasanya aneh? Akhirnya, saya iseng membuka isi lemari tua. Di dalamnya, ada rapor Papa. Agak lupa, ada rapor tingkat apa saja. Tapi yang saya baca waktu itu adalah rapor SMP Papa. Terang-terangan saya konfirmasi ke Papa. Papa dulu SMP mana? Jelas saya ingin dengar langsung, karena di rapor tertulis SLTP VIII. Bayangin, pakai romawi dan tulisan jadul gitulah. Haha. Ya, Papa mengaku kalau Papa dulu SMPN 8 Yogyakarta. Eits, penyebutannya nggak pakai kata ‘kota’ ya, seperti halnya di Bengkulu. Soalnya, Yogyakarta sudah mencerminkan nama kota. Sedangkan nama provinsinya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meskipun sekarang DIY adalah daerah setingkat provinsi yang memiliki keistimewaan. Pokoknya di atasnya kota/kab, gitu. Kalau di Bengkulu, masih butuh pakai kata ‘kota’ karena kalau tidak pakai, nanti dikira provinsi karena nama kota dengan provinsinya sama. Nah kembali lagi ke soal pilihan SMP. Saya menanyakan lagi ke Papa, apakah SMPN 8 itu bagus? Papa bilang bagus, alamatnya di Terban. Ya, masih area dekat kampus lah. Wah girangnya saya dengar kabar itu. Akhirnya saya tanpa ragu berniat akan memilihnya nanti setelah sampai di Jogja.

Seketika saya sampai di Jogja, tidak semudah itu untuk bisa masuk ke SMPN 8. Saya baru tahu kalau ternyata SMPN 8 itu SMP terbaik di Kota Yogyakarta setelah SMPN 5. Tapi saya masih keras kepala mau milih SMPN 8. Hahaha. Sepupu saya bilang, bagusan SMPN 5. Tapi saya nggak mau peduli. Biarin. Ada juga yang pakai motivasi negatif, kenapa nggak pilih SMP yang lebih di bawah aja sekalian. Wkwk. Memang di situ ada keraguan karena baru tahu kalau ternyata ada sistem kuota. Bayangin, kuota dalam kota 70 %, luar kota dalam provinsi 25 %, sedangkan sisanya luar provinsi hanya 5 %. Gila abis sih, total siswa yang akan diterima di SMPN 8 waktu itu adalah 336. Lima persen dari 336 adalah 16,8. Artinya, saya harus bersaing dengan sesama peserta supaya maksimal ranking 336 dari keseluruhan, tetapi sesama luar provinsi harus masuk ranking 16 teratas. Kalau tidak, saya langsng didepak ke pilihan kedua (pakai sistem real time online). Mau tahu pilihan kedua dst saya? 6, 12, 14, dan 11. Untungnya waktu itu diberi pilihan 5 dan boleh negeri semua. Itu semua pilihan Papa. Padahal, seharusnya pilihan kedua itu SMPN 1, yang rankingnya masih di bawah persis SMN 8 dan alamatnya masih dekat. Mending ya, kalau saya terlempar ke SMPN 1 masih lega. Tapi saya setelah diberi tahu sepupu, saya jadi takut banget terlempar ke pilihan kedua karena ya tahu sendirilah rankingnya. Wkwk. Dasar Novi. Sampai pada saatnya saya mantau peringkat saya di SMPN 8. Pertama kali ngecek, ranking berapa ya lupa kayaknya 200an, terus jadi 301. Ini peringkat hari terakhir masih pagi. Sudah sedih sekali karena membayangkan dalam sehari peringkat saya bisa tergeser sampai serratus itu gimana coba rasanya. Sudah harus siap didepak ke SMPN 6 kalau ternyata hari terakhir jadi peringkat 301+100 jadi 400 huhuhu. Tamatlah sudah. Eeh ternyata, pada hari ketiga sudah tidak banyak yang melakukan pendaftaran sekolah. Peringkat saya pada hari ketiga bukannya turun, malah naik sedikit. Jadi 300, terus pas terakhir pengumuman final jadi peringkat 299. Alhamdulillah. Saya akhirnya diterima di SMPN 8 Yogyakarta. Nggak pernah menyangka, bakal se-SMP sama Papa. Padahal dulu ngebet banget pengen masuk SMPN 1 Kota Bengkulu kayak mbak-mbaknya.

Usai masuk di SMPN 8, apakah berhenti di situ saja? Tidak. Saya masih kepo, apakah di SMPN 8 ada aksel? Ternyata tidak ada. Yang ada itu SMPN 5. Yaudahlah ya, saya mah nggak masuk SMPN 5. Tapi ternyata, di SMPN 8 ada kelas SBI 1 kelas yang sudah dapat siswa-siwanya sejak mereka tes pra-RTO. Kemudian akan dibuka kelas bilingual, untuk menemani yang SBI kali ya? Hehe. Namun, saya tidak mendaftar meskipun bisa on-going karena saya sudah merasa cukup bisa masuk kelas reguler di SMPN 8. Maklum, sadar diri dari luar provinsi dan hanya peringkat bawah-bawah (299). Wkwk.

Awalnya saya berpikir akan jadi siswa ranking belakangan di SMP, ternyata nggak juga. Ternyata, ternyata, eh ternyata. Alhamdulillah, saya yang terseok-seok mengikuti pelajaran di Kota Yogyakarta, masih bisa masuk 5 besar di kelas VII-6. Semester II, malah masuk 3 besar. Sampai akhirnya ketika kelas IX, saya bersyukur sekali pertama kalinya dapat duit tambahan karena masuk 3 besar paralel (meskipun reguler dan SBI dipisahkan). Padahal ya, reguler itu 8 kelas dan banyak sekali orangnya. Tapi ternyata setelah digabung dengan SBI/bilingual, saya pun masih masuk 10 besar paralel total. Alhamdulillah banget. Satu hal lagi di luar akademik pokok… Bahwa saya pernah ikut lomba pidato keagamaan mewakili kelas VIII-6. Saya waktu itu ditunjuk hanya karena tidak ada yang mau ikut. Yah, terjebak deh. Eh tidak disangka juga, pas kelas VIII itu saya jadi juara II atau III kategori putri. Dapat hadiah, meskipun bukan rupiah. Sebagian hadiah dipakai Ibu (kerudung), sebagian lainnya saya gunakan di SMA (buku tulis yang di bagian bawahnya ada tulisan arab gitu kalau tidak salah).

Jangan berpikir bahwa saya di SMP mulus-mulus saja. Saya juga pernah mengalami penolakan. Tidak mungkin semuanya saya ceritakan. Tapi satu hal yang patut saya ceritakan, yaitu keinginan saya untuk berpartisipasi dalam olimpiade sains bidang Matematika. Ya, jadi ceritanya di SMPN 8 itu ada klub olimpiade sains, namanya Bocah Mipa Wolu (BMW). Seleksi BMW super ketat. Yang banyak lolos adalah anak SBI. Saya hanya bermodal pengalaman ikut Kompetisi Matematika Pasiad SD, yang saya pernah lolos sampai tingkat provinsi di Bengkulu. Tapi ya itu tadi sih, standarnya Yogyakarta terlalu tinggi buat saya. Jadi, nikmati saja sebagai siswa reguler.

Di penghujung SMP, saya akan menentukan pilihan lagi ke SMA. Saya bersikeras ingin masuk SMAN 1 Yogyakarta. Mungkin karena sudah maniak ingin sama dengan Papa terus. Papa SMAN 1 sih, dulunya. Tapi saya tahu, SMAN 1 itu alamatnya di Jalan H.O.S. Cokroaminoto, Pakuncen ya? Saya juga tahu kalau itu jalan besar. Saya masih trauma menyeberang jalan karena pernah ditabrak saat SD kelas VI (27 Agustus 2007). Memang, kejadiannya sudah lama. Tapi, trauma itu masih hinggap sampai akhirnya saya telat belajar motor. Teman-teman saya sudah bisa bawa motor ke mana-mana ketika SMA. Sedangkan saya, baru belajar motor sebelum masuk kuliah persis. Belajarnya gigi, belinya matic. Hehe.

Setelah pengumuman nilai UN, alhamdulillah nilai saya cukup sekali bahkan untuk masuk SMAN 3 Yogyakarta. SMAN 3 katanya sih lebih baik daripada SMAN 1. Hanya saja kalau mau dibandingkan secara kasat mata, SMAN 3 lebih universal sedangkan SMAN 1, penerapan pendidikan agamanya lebih ditegakkan. SMAN 3 lebih unggul hampir di segala bidang, sedangkan SMAN 1 lebih unggul spesifik di bidang akademik. Mohon maaf kalau salah ya, ini pendapat khalayak pada tahun dua ribu belasan. Sekarang mah udah dua ribu dua puluhan, mungkin kini berbeda. Ya, saya tahu persis bahwa selulusnya saya dari SMP, Papa akan kembali ke Bengkulu. Bahkan mungkin Ibu juga. Artinya, saya harus mengurus semuanya sendiri. Saya harus berangkat pulang sekolah sendiri. Sementara dengan kondisi saya yang seperti ini—trauma jalan raya, trauma menyeberang, belum belajar motor, dan lain-lain, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar SMAN 2 Yogyakarta. Karena kalau bersekolah di SMAN 2, saya cukup menaiki sepeda atau bahkan berjalan kaki.

Ini benar-benar di luar dugaan. Saya tidak pernah berkehendak bersekolah di SMAN 2. Bayangkan saja, pada waktu itu SMAN 2 tidak masuk 3 besar sekolah terbaik di kota, apa lagi di provinsi. Makanya, makanya, makanya. Tapi, tapi, tapi. Ah… Tetap saja, sebelum saya memilih sekolah, saya beristikhoroh. Rasanya aneh. Saya punya nilai yang bisa masuk SMA mana saja (meskipun kalau di SMAN 3 mepet sekali), di SMAN 1 masih sisa agak banyak, apa lagi kalau milih SMA lain di bawahnya. Waktu itu, Papa masih di Jogja dan mendampingi pendaftaran saya. Aturannya, hanya bisa memilih tiga dan salah satunya harus swasta. Pendaftaran bisa dilakukan di salah satu sekolah pilihan. Karena SMAN 2 paling dekat, saya mendaftar di SMAN 2. Waktu itu, saya memilih 2 dan 6. Pilihan swasta tidak saya isi. Papa nanya, beneran nih pilih 2 sama 6? Nggak 1 sama 2? Betapa bodohnya saya waktu itu tidak memikirkan cita-cita saya selama ini untuk bisa masuk SMAN 1. Betapa saya seolah-olah seperti orang yang kehilangan akal. Entah bagaimana ceritanya saya akhirnya menuliskan pilihan 2 dan 6.

Sepulangnya saya dari pendaftaran sekolah, beberapa orang mulai heran dan akhirnya saya cek saya peringkat berapa. Ternyata, saya peringkat belasan di SMAN 2. Belum lagi kalau mantau koran, berapa nilai terendah di SMAN 3 dan SMAN 1. Huh kalau ingat waktu itu, saya betul-betul menangis, menyesal sejadi-jadinya. Kenapa sih cuma gara-gara nggak berani naik motor, menyeberang, dan lain-lain bikin Novi nggak jadi daftar SMAN 1? Kenapa? Kenapa? Yang lain aja bisa, bahkan nekat meskipun tahu akan didepak, but at least mereka sudah coba. Satu hal lagi kenapa saya nggak jadi daftar SMAN 1 itu hmm sepertinya waktu itu saya menghindari hal tertentu. Saya tidak mungkin menyebutkannya di sini.

Lepas dari itu semua, semuanya adalah takdir. Yang Mahakuasa telah membuat skenario sedemikian rupa. Ya, kehadiran saya di SMAN 2 tentu menuai banyak kontra. Mulai dari guru SMP, teman-teman SMP, dan keluarga besar. Guru-guru dan teman-teman SMP tahu kalau saya (tadinya) hendak mendaftar SMAN 1. Begitu pula dengan keluarga besar. Karena kata keluarga, kalau masuk SMAN 1, nanti tinggal di Gamping saja supaya bisa menemani Eyang. Tapi, malah pilih SMAN 2 yang berarti bahwa saya masih akan tinggal di Bener (tempat tinggal lama), sebuah kampung yang sama dengan SMAN 2. Beberapa netijen berpikiran negatif bahwa saya masuk SMAN 2 karena mengikuti orang-orang tertentu. Padahal, bukan begitu. Hanya suatu kebetulan bahwa saya satu sekolah lagi dengan orang-orang tersebut. Toh juga ternyata Tuhan masih menyelamatkan saya dengan cara, saya tidak pernah sekelas dengan mereka di SMA. Meskipun kelas XI memiliki peluang sekelas karena diacak, itu tidak pernah terjadi.

Saya masuk kelas terakhir sekali, yaitu X-9. Alhamdulillah, mencapai peringkat kelas di SMAN 2 tidak begitu sulit, tetapi menjadi yang terbaik se-paralel berat sekali. Apa lagi SMA itu pelajarannya sampai pukul 14. Rasanya sudah lelah. Ditambah pula, saya iseng dan keterusan ikut olimpiade sains.

Ngomong-ngomong soal olimpiade sains, ceritanya juga panjang. Setelah mengalami penolakan BMW di SMP, saya masih berharap bahwa di SMP bisa ikut kompetisi yang berbau geografi dan/atau IPS gitulah. Eh pas kelas VIII, ada pengumuman dibukanya bidang IPS untuk olimpiade sains SMP. Saya mendaftar dan alhamdulillah di tes pertama, saya peringkat satu. Hihihi. Gobloknya, saya tidak rajin memperhatikan pengumuman sehingga saya tidak ikut tes kedua. Saya malah baru tahu setelah beberapa hari kemudian. Lalu, saya diberi kesempatan tes kedua yang susulan. Sayang sekali, hasilnya kurang baik. Saya pun tidak lolos ke tahap berikutnya, dan tidak akan mendapatkan kesempatan menjadi wakil bagi SMPN 8, di OSN SMP IPS 2010 (seleksi tingkat kota). SMPN 8 waktu itu akhirnya untuk bidang IPS diwakili oleh RLPG, MFM, dan ASY.

Sebenarnya, sebenarnya, sebenarnya… Saya berharap tetap bisa mengikuti kompetisi kegeografian gitu di SMP. Saya yakin, pasti ada kesempatan itu. Tapi, sayangnya, saya minim akses. Bayangin deh, nggak punya HP. Kalaupun ada, ya HP jadul pinjam Ibu. Nggak bisa untuk internetan. Kalau mau browsing, harus ke warnet. Kecepatan akses internet zaman dulu juga cuma seberapa, bikin nangis pokoknya kalau orang zaman sekarang harus merasakan internet zaman dulu. Suatu hari di SMP ketika saya masuk kelas placement test IX-1 duduk di samping RIR, saya melihat dia habis berinteraksi dengan guru geografi. Tebak saya, dia pasti disuruh ikut lomba kegeografian gitu. Eh bener kan. Makanya saya selalu yakin kalau pasti ada lomba kegeografian gitu. Tapi kenapa sih, yang dipilih bapaknya itu mesti anak SBI atau yang ranking 1 paralel? Kenapa bapaknya nggak ngadain semacam seleksi terbuka gitu lho ya. Tapi siapalah saya, tak punya hak untuk mengganggu gugat pilihan guru.

Sampai akhirnya saya lupa, ternyata saat Ibu naik haji 2009, saya pernah meunuliskan doa bahwa saya ingin menjadi wakil sekolah sebagai peserta kompetisi geografi, gitu, tapi kalau bisa ya tingkat nasional. Saya tidak pernah mengingat doa itu karena cuma iseng. Haha. Eh, ternyata itu terlaksana di SMA. Di SMAN 2, saya masuk klub olimpiade sainsnya sekolah dong, meskipun nggak setenar BMW di SMPN 8. Jangan heran kenapa saya bisa masuk. Pertama, karena peminatnya sedikit alias persaingan tidak ketat seperti di SMPN 8. Kedua, saya memilih bidang yang jarang dipilih orang. Mau tahu apa? Saya jelas menghindari Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Astronomi karena khawatir kalau ada alumni SMPN 8, pasti mereka akan lolos atau mendepak saya. Yang tersisa adalah Ekonomi, Komputer, dan Kebumian. Waktu itu tanggal 27 Juli 2011, bertepatan dengan Papa wisuda S-3. Saya bukannya bolos sekolah malah tetap sekolah dan ikut seleksi olimpiade sains tersebut. Aneh ya. Padahal, pasti Papa mengharapkan anaknya hadir pada hari besarnya itu. Tapi yah, itu semua sudah lewat. Ketika saya memilih bidang saat tes, saya bingung. Saya nggak terlalu suka komputer. Saya tahu Ekonomi itu potensial karena di SMAN 2, saya pernah mendengar ada senior yang lomba Ekonomi terus juara, gitu. Tapi saya jadinya tidak memilih Ekonomi karena pasti anak SMAN 2 juga akan banyak yang memilihnya. Yaudah, akhirnya saya milih Kebumian karena saya pikir tidak akan banyak orang yang milih. Eh beneran, ternyata dari Kebumian itu nggak ada yang didepak. Yang mendaftar hanya lima, yaitu saya, DY, BYR, LJS, dan YH.

Akhirnya, kami mengikuti proses pembinaan atau pelatihan pekan demi pekan. Saya sempat iri dengan bidang lain, kenapa mereka terlihat lebih hebat. Saya juga sempat minder, kenapa sih saya masuk klub olimpiade sains? Di SMAN 2, klub olimpiade sains termasuk ekskul yang dianggap miring oleh ekskul lain karena dianggap percuma, tidak penting, tidak akan menang, tidak akan sukses, dan banyak hal negatif lainnya. Ya, saya sempat ingin keluar dari Kebumian, waktu itu. Bahkan di antara teman-teman Kebumian saya, pasti sudah ada yang pernah izin atau mengalami ketidakhadiran minimal 1 kali. Saya juga sempat berniat ingin bolos juga. Tapi, perasaan tidak enak itu selalu muncul seketika saya ingat guru yang mengajar Kebumian. Saya tidak punya alasan untuk pergi. Jadi, saya lanjut saja terus.

Ya, guru yang mengajar ekskul Kebumian itu adalah Ibu M, yang baru saja beberapa hari yang lalu menutup usia karena ditakdirkan terserang Covid-19. Ya Tuhan, betapa rasanya… Saya memang tidak pernah diajar Ibu M di kelas sebagai guru dan siswa normal seperti halnya Pak DTA mengajar geografi di kelas saya. Saya mengenal Ibu M hanya di kelas pembinaan olimpiade sains. Ketika saya S-1, saya mendapatkan kesempatan beberapa kali ke SMAN 2 untuk mengajar adik-adik, dan saya hampir selalu berjumpa dengan Ibu M sekadar sapa dan tanya kabar. Bergitu pula ketika beliau S-2 di kampus S-1 saya. Belakangan ini, beliau juga tahu kalau saya S-2. Seandainya saya mendapat kesempatan ke SMAN 2 lagi, saya tidak akan berjumpa dengan beliau lagi. Rasanya, jadi berbeda.

Akhirnya saat kelas X saya ikut seleksi OSN Kebumian 2012 tingkat kota, lebih dikenal dengan OSK. Alhamdulillah, saya lolos ke provinsi (OSP), peringkat 12 dari 15 (ya, mepet). Ketika OSP, saya belum bisa lolos ke seleksi tingkat nasional (OSN) karena kurang strategi dan pengalaman. Saya bertekad bahwa 2013, saya harus lolos ke OSN. Alhamdulillah, ternyata tahun 2013 saya berkesempatan seleksi lagi, OSK-OSP-OSN. Meskipun ada bidang baru, yaitu Geografi, saya tetap memilih Kebumian. Saya hanya ikut Olgenas 2013 bersama YH sebagai batu loncatan atau selingan menuju OSK-OSP-OSN. Di OSK, saya peringkat 3, dapat rupiah, dapat trofi. Di OSP, saya peringkat 4 (nggak dapat rupiah apa lagi trofi) tapi masih beruntung karena jika diranking se-nasional, DIY bisa meloloskan 7 orang. Sebenarnya, kuota maksimal setiap provinsi adalah 9 orang untuk dikirim ke OSN, dengan ketentuan siswa dari sekolah yang sama dibatasi maksimal 2 orang. Suatu hari saat saya mengintip kertas pendamping kontingen DIY, saya mendapati bahwa ternyata ada sekitar 2 (atau 3) orang dari SMAN 1 Yogyakarta dan SMA Kesatuan Bangsa Bantul yang sebenarnya masih termasuk 90 besar se-nasional ketika OSP, tetapi karena ada 2 orang di atas mereka dari sekolah yang sama, mereka tidak diikutkan ke OSN. Saya yakin, kasus seperti ini kemungkinan besar juga terjadi di provinsi lain. Oleh karena itu, saya sangat bersyukur menjadi bagian dari SMAN 2 karena siapa tahu, kalau saya masuk SMAN 1, saya kalah bersaing dengan rekan dari kandang sendiri huhuhu. Baiklah, itu hanya selingan. Alhamdulillah, di OSN saya peringkat 13 dan masih mendapat medali perak. Ternyata, ini tidak lepas dari doa Ibu ketika haji saat saya SMP. Hasilnya, lebih baik daripada yang pernah saya bayangkan ketika SMP, yang tertunda sehingga sempat saya lupakan. Lalu, saya berkesempatan berpartisipasi dalam Pelatnas menuju International Earth Science Olympiad (IESO). Sayangnya, saya seperti sudah demotivated dan kurang dukungan sehingga kondusif mengikuti Pelatnas. Kurang strategi dan pengalaman, juga tidak punya senior dari SMA yang sama untuk dijadikan referensi. Mau minta sama teman, mereka aja belajar untuk diri mereka sendiri. Ya sudah, takdir juga karena bertepatan dengan flu 2 pekan. Eits, tapi bukan Covid-19 ya.

Sejauh perjalanan saya di Kebumian, sebenarnya masih belum sejauh teman-teman saya yang sampai pada IESO atau yang kuliah di Teknik Geologi. Saya memang tidak ingin kuliah di Teknik Geologi karena pasti keras sekali kehidupannya. Wkwk. Saya juga menghindari sesuatu yang tidak mungkin saya sebutkan di sini. Terus apa lagi ya, yah, yang jelas di penghujung SMA, saya harus memilih lagi. Memilih, ah, sesuatu yang rumit bagi saya. Teman-teman SMA sudah mengira bahwa saya akan memilih Teknik Geologi. Kalau bukan Teknik Geologi, klaster medika atau teknik lainnya gitulah. Kenyataannya, saya memilih klaster sains. Bahkan klaster sainsnya yang tidak umum. Apa itu? Geografi dan Ilmu Lingkungan! Sekarang namanya menjadi Geografi Lingkungan. Dia ada di bawah Fakultas Geografi, UGM.

Beberapa teman mungkin kaget karena mereka pasti melihat peringkat fakultas dan prodi. Namun, saya terlihat seperti orang bodoh yang tidak mau mendengarkan mereka. Salah satu di antara mereka berkata, masuk teknik aja Nov. Entahlah, saya mengabaikan itu. Salah satu kakak syaa juga bilang, kalau mau kerja ya teknik. Kalau mau murni ya terserah. Ya, karena di UGM itu basisnya murni, bukan pendidikan. Ibu saya sebenarnya menyebutkan Teknik Lingkungan (TL), tetapi saya bialng ke Ibu kalau di UGM itu tidak ada TL. Adanya, Teknik Sipil dan Lingkungan sebagai sebuah departemen (dulu masih jurusan). Prodinya Teknik Sipil doang, nggak ada prodi TL. Kalau mau maksa TL, adanya di UPN dan UII yang kebetulan ya swasta. UPN dulu masih swasta ya, 2014.

Kayaknya sih, saya memilih Geografi Lingkungan karena strategis. Pertama, masih berpeluang ada materi yang sama dengan OS Kebumian SMA. Kedua, pasti teknik pemetaan gitu-gitu akan dipelajari meskipun nggak sedalam Kartografi dan Pengindraan Jauh (KPJ). Ketiga, saya memang menghindari sesuatu dari klaster teknik dan medika. Ya sudah. Keempat, Geografi Lingkungan menjadi semacam jembatan antara Papa dan Ibu, yang keduanya S-1 berturut-turut Teknik Geodesi dan Pendidikan Geografi. Di sini, saya berperan di murni. Papa teknik (meskipun pada akhirnya S-3 Geografi bukan Teknik), Ibu pendidikan. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Di S-1, ada banyak sekali pilihan, termasuk ketika mulai semester III karena harus memilih kata kuliah pilihan. Sampai akhirnya ternyata saya  banyak memilih fisik, tetapi minus Hidrologi Sungai. Gara-gara nggak ambil Hidrologi Sungai, saya nggak berani skripsi yang berbau analisis sumberdaya air gitulah. Makanya, saya memilih dosen lab GLMB (Geomorfologi Lingkungan dan Mitigasi Bencana) untuk diusulkan sebagai pembimbing. Pokoknya dramatis. Main nulis nama nggak pakai izin dulu, akhirnya izin belakangan. Dampaknya, beliau jadi punya 5 bimbingan dalam waktu bersamaan untuk S-1 dan itu mungkin sekali dalam seumur hidup beliau. Wkwk. Maaf ya Pak, gara-gara saya.

Salah satu yang membuat saya agak lega ketika ternyata beliau menjadi DPS (dosen pembimbing skripsi) saya adalah, saya diminta ikut kuliah kerja nyata (KKN) antarsemester (belakangan aja, bareng 2015). Alhamdulillah, akhirnya saya bisa kembali jadi pengusul (sebelumnya sudah dan gagal karena memilih blok 1 nggak jadi blok 2). Padahal tadinya saya mau blok 2 aja demi bisa KKN di situ. Terus, atas pertimbangan Pak AC, saya memilih blok 1 supaya tidak ketinggalan semester. Eh sedapatnya DPS Pak MAS, saya malah jadi berkesempatan KKN di lokasi yang saya inginkan, di sebuah desa di lereng utara Gunung Lawu. Ini peluang saya mencicil nilai A. kira-kira seperti itu untuk urusan akademik di S-1. Nggak usah ditanya berapa IPK dan apakah cumlaude atau tidak. Memang menambah 1 semester menjadi 9, tetapi hasil yang dicapai jauh lebih baik.

Untuk urusan non-akademik, saya terpengaruh banyak omongan bahwa kalau nggak berorganisasi itu kuper, nggak punya teman, nanti susah dapat kerja, dan lain-lain. Ya, saya membenarkan hal itu dalam hati. Makanya, waktu itu saya mendaftar himpunan mahasiswa jurusan (sebut saja EGSA), salah satu kegiatan di bawah EGSA (sebut saja ekspedisi), kepanitiaan di fakultas (sebut saja GEOS), dan kepanitiaan di fakultas sebelah (sebut saja MUN). Semuanya menolak saya. Saya memang tidak menanyakan apa alasan mereka menolak saya, tetapi saya tahu betul kalau saya diterima mungkin saya akan mendapatkan mudorot yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Eh, wkwk.

Namun, saya tidak berhenti di situ saja. Saya tetap berusaha mendaftar yang lain. Ya, saya mendaftar Geography Study Club (GSC) di divisi Pengembangan Bahasa (PB). Kenapa saya pilih itu ya, padahal yang bergengsi itu kan riset dan kajian. Halah, kayak nggak tahu Novi aja… Novi mah pilih divisi yang nggak terlalu banya saingannya, dan Novi memang berharap bisa berkontribusi lebih di PB itu. Akhirnya, saya diterima. Dan saya tidak menyangka bahwa pada tahun berikutnya, bisa menjadi kepala divisi. Artinya, saya termasuk pengurus harian dan tahun depannya lagi, berkesempatan menjadi dewan konsultatif. Bayangin, orang yang nggak keren kayak Novi bisa masuk di lingkaran PH GSC yang keren-keren? Wow. Apa lagi ketika saya dimasukkan ke dalam grup WA GSC all years. Bayangkan, yang kesempatan bergabung hanya pengurus inti dan kadiv. Seandainya WN tidak menjadi kadiv di UPII, seandainya ada staf PB lain yang lebih ‘kelihatan’… pasti bukan Novi yang menjadi kadiv PB 2016. Tapi lagi-lagi ini juga takdir. Salah satu ketua GSC pada masanya adalah staf PGSP (FWM), yang turut andil dalam tesis saya. Jadi, alhamdulillah, bisa berada di lingkaran pengurus GSC lintas tahun.

Lalu, lalu, lalu… untuk urusan kepanitiaan, ternyata saya punya kepanitiaan beruntun yang itu kegiatan keren di kampus. Bukan pentas seni. Apa itu? Pelatihan Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (PPSMB). Gampangnya, PPSMB mirip orientasi untuk mahasiswa baru gitulah. Di PPSMB, saya menjadi co-facilitator/pemandu univ (2015) sekaligus co-trainer soft skill (ini nggantiin dosennya kalau nggak datang wkwk); pemandu ekskursi jurusan (2015-2016); menjadi subkoordinator co-fasilitator (2016) sekaligus perpanjangan tangan dosen coordinator gugus/fakultas dan koordinator klaster sains membantu coordinator teknis/anak acara; menjadi pemandu fakultas (2017) sekaligus PLT koordinator; meskipun baru itu. 2018 nggak ambil peran karena baru pulang KKN persis. 2019 pengennya jadi trainer soft skill, eh ternyata udah nggak bisa. Tadinya, trainer soft skill itu bisa dari kalangan alumni sebagai tambahan, tapi sejak tahun berapa gitu jadinya dosen semua. Huhuhu. Kalau mau jadi trainer soft skill kudu dadi dosen UGM alias pegawai dalam betulan, nggak bisa sekadar alumni.

Nah selain soal organisasi dan kepanitiaan, sebenarnya saya berharap ada prestasi juga gitu lho. Di awal semester I, saya menjadi peserta pertandingan bulu tangkis (biar kayak atlet gitu, keren). Siapa tahu menang terus, soalnya pas masih kecil sering main sama Papa. Eh, ternyata kalau atlet itu mainnya kasar dan harus menjatuhkan lawan. Bukan soal main untuk senang-senang, hiks-hiks. Lalu saya pernah ikut PKM (kalau lolos bisa sampai PIMNAS). Tapi, belum rezeki karena dua kali saya coba, saya gagal alias tidak lolos didanai. Akhirnya saya pernah termbus dua kali kompetisi, yaitu menulis esai kelompok studi se-UGM. Haha, sebagiannya saya ambil dari tugas praktikum Manajemen Bencana sih. Makanya bisa ok. Selain itu, saya juga ikut SEA STAR Competition yang diselenggarakan oleh FIS UNNES. Saya memang tidak juara dan tidak menjadi best speaker. Namun, juri kelihatannya kasihan dengan saya. Sudah jauh-jauh, masa tidak dapat penghargaan. Akhirnya, saya menjadi peraih best paper. Wkwk. Apaah dah. Dah, biarin aja. Dan karena itu, saya jadi pernah ke Semarang, di samping pernah ke Undip untuk membantu Hidrogeologi Pak AC Bersama SFL.

Nah ngomong-ngomong soal membantu dosen, sebenarnya ini hanya sedikit kekhawatiran saya. Teman-teman saya di blok 1 pada punya dosen duluan dan terlibat di hibah masing-masing. Saya sebenarnya ingin, tatpi tidak berdaya. Eh ya alhamdulillah karena saya pernah konsul soal blok ke Pak AC (dan mungkin beliau punya alasan lain), saya jadi punya pengalaman terlibat di penelitian beliau. Senang sekali rasanya bisa membantu. Dan dari situ juga, meskipun saya gagal PKM-PIMNAS, saya tetap punya kesempatan menulis yang lebih bebas (tidak harus Hidrogeologi), tetapi bisa tentang apapun. Ya, saya dan SFL mengikuti Semnas PPDAS, juga SEAGA. Bersyukur sekali.

Bahkan dari KKN yang saya ikut bersama adik-adik 2015, saya juga bersyukur karena pada KKN antarsemester, dosen pembimbing lapangan (DPL) saya mendapatkan hibah teknologi tepat guna. Salah satu output dari hibah tersebut adalah paper, dan saya mempresentasikannya di ICERM 2018. Saya juga saya co-author di ICCEESD 2018. Alhamdulillah. Pokoknya, tiada henti mengucapkan syukur. Memang, nikmat dari Yang Mahakuasa tidak akan pernah bisa dihitung, tetapi mensyukurinya adalah kewajiban mutlak. Bahkan November 2023, tulisan dari lokasi KKN menjadi best paper dalam SDGs Annual Conference dari Bappenas dengan output jurnal Sinta 5 (ya meskipun biasa saja, tetap bersyukur alhamdulillah).

Pada akhirnya saya hendak menceritakan bagaimana akhir S-1 saya. Sempat dramatis khawatir kalau harus menambah biaya kuliah lagi. Untungnya, cukup dengan setengah UKT semester IX. Mungkin saya tidak bisa wisuda Agustus atau November 2018, tetapi ternyata itu yang terbaik. Setidaknya, saya tidak akan pernah mempermalukan diri saya di hadapan para pembaca skripsi saya di ETD karena skripsi saya sudah dibuat sedemikian rupa rapi, lengkap, dan sistematis. Bayangkan kalau saya terburu-buru, jelek, memalukan, bisa-bisa tidak dapat A, kan sedih ya 🙁 Nah, akhirnya saya wisuda Februari 2019. Saya memang bukan wisudawan terbaik, tetapi alhamdulillah saya lulus denga predikat lumayan dan Papa menjadi wakil orang tua wisudawan di fakultas. Saya tahu, omongan Papa kurang berbobot dibandingkan dengan wakil wisudawan, tetapi ya sudah mau bagaimana lagi. Yang penting nama saya sudah tercatat :D.

Lalu tidak berhenti di situ. Saya harus memilih setelah S-1, yaitu kerja atau S-2. Huh, berat bung. Ya atas petunjuk-Nya lagi, saya S-2. Sempat bingung, mau Fakultas Geografi (FGE) prodi Geografi murni atau Geografi minat Magister Perencanaan Pesisir dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) atau Sekolah Pascasarjana (SPs) prodi Ilmu Lingkungan minat Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana (Geo-Info). Teman-teman saya menyarankan untuk ambil FGE saja supaya jelas linier. Tapi saya ngeyel, tetap pilih Geo-Info. Saya menganggap Geo-Info linier wkwk. Toh nanti bisa diatasi dengan S-3, bismillah sih, kalau memang harus dan semoga bisa lancar kalau iya. Saya tadinya mau S-2 dengan beasiswa gitu, tapi kan harus menunda kuliah. Atas saran orang tua, ya sudah daftar S-2 saja, beasiswa ambil yang on-going kalau ada. Nah, saya daftar parsial SPs dan Beasiswa Unggulan (BU) Kemdikbud berturut-turut (nunggu salah satu ditolak). Beasiswa parsial SPs menolak saya karena saya tidak layak. Yaudahlah ya, soalnya mbak-mbak saya udah nikah, masa orang tua saya nggak membiayai saya. Lalu BU Kemdikbud, tampaknya masalahnya karena tidak sinkron antara alamat orang tua, alamat KK, dan domisili, sehingga tidak bisa menunjukkan rekening listrik terakhir dengan tepat. Ah, pokoknya konyol deh. Dari situ, saya jadi membuat KK sendiri dan alhamdulillah saya sudah menjadi kepala keluarga. Selengkapnya, baca tulisan saya yang berjudul Setahun Menjabat Kepala Keluarga. Sangar kan? Wkwk.

Nah, di S-2, saya masih mempertimbangkan tesis di lokasi yang sama dengan skripsi, yaitu di Magelang. Sayangnya, tidak ada partner dan Pak MAS pindah ke Sangiran. Duh, saya tak sanggup. Karena berbagai hal termasuk pandemi, akhirnya saya memilih Parangtritis. Pembimbing saya Pak DM dan Bu EHP. Tapi, penguji saya masih Pak MAS dan Prof JS. Alhamdulillah, meskipun harus mengurus kerjaan lab yang berhubungan dengan PGSP, saya jadi lebih mudah mendapatkan akses data. Jadi, bisa lulus 1 tahun 10 bulan. Alhamdulillah, bisa wisuda Juli. Kalau saya S-2 di FGE, saya tidak bisa menghindari sesuatu, dan saya harus menghabiskan teori 3 semester baru bisa proposal lalu tesis. Saya pun dari Parangtritis punya cicilan publikasi berupa 1 paper konferensi (otw prosiding, p. 57) dan 1 jurnal (meskipun yang kemarin ditolak, habis ini saya coba lagi di tempat lain). Semoga masih ada tulisan lanjutan.

Alhamdulillah, saya menjadi wisudawan terbaik SPs padahal saya nggak pernah berniat sejauh itu. Saya hanya mengusahakan yang terbaik ketika mengerjakan tugas dan ujian, tentunya diiringi doa pribadi, orang tua, dan orang-orang baik di lingkaran saya. Saya hanya berdoa dan mengusahakan agar publikasi dan tesis dapat A. Sebenarnya di dalam hati kecil saya, setelah nonton prosesi wisuda masa pandemi, saya tahu ada wisuda luring terbatas dan daring. Saya berharap dengan modal alamat KK dan tempat tinggal yang dekat dengan kampus, saya bisa menjadi wakil wisudawan fakultas (luring) supaya bisa memakai toga. Saya berharap, nama saya disebutkan sebagai wakil wisudawan. Akan tetapi, varian delta sejak Juni melanda, menjadikan bulan Juli harus diberlakukan PPKM darurat berkepanjangan entah sampai kapan. Jadi, tidak ada yang namanya wisuda luring terbatas. Semuanya daring. Tidak ada peminjaman toga, meskipun hanya untuk wakil atau orang yang tinggal di Jogja saja. Akan tetapi, ternyata, meskipun tidak ada wisuda luring dan tidak ada toga, saya dihubungi untuk menjadi wakil wisudawan SPs. Ternyata, saya wakil dipilih bukan karena alamat semata, melainkan juga karena hal lain. Alhamdulillah, malah jadi tercapai semuanya. Saya menjadi wakil wisudawan atas dasar predikat wisudawan terbaik. Bersyukur sekali. Orang tua pun yang menyaksikan wisuda daring dari jauh, masih bisa lega mendengar nama anaknya disebut. Karena yang disebut rata-rata hanya satu master dan satu doktor dari setiap fakultas. Uniknya lagi, wakil wisudawan disorot masuk screen utama panitia wisuda univ bersama dekan masing-masing. Padahal, jika beliau ingat, saya adalah yang dulu pernah melamar beasiswa parsial SPs, dan saya adalah orang yang telah ditolak oleh beliau. Tetapi, hari itu membuka memori penolakan 2 tahun yang lalu itu. Hehe. Semoga hal-hal baik terus diberikan oleh Sang Sutradara alam semesta ini. Semoga ilmu yang bermanfaat menyertai, dan tidak berat sebelah antara dunia dan akhirat. Semoga, ilmu agama turut dicapai semakimal mungkin disertai dengan praktiknya. Aamiin…

Jangan tanya soal pernikahan kepada saya, karena itu adalah pilihan yang tidak dapat kembali jika sudah diputuskan. Yang penting, fokus pada diri sendiri dengan menambah kapasitas dan kualitas. Boleh memperhatikan omongan orang lain, tetapi saring dengan bijak. Tujuan apapun haruslah berorientasi kepada surga. Dengan demikian, apa yang kita kerjakan dan apa yang hendak kita capai harus selalu bernilai dan diniatkan ibadah. Begitu pula dengan urusan pendidikan dan pekerjaan, keduanya bukanlah halangan dalam pernikahan. Semoga, semuanya dapat bersinergi demi kehidupan yang abadi nanti.

 

Pilihan, Penolakan, dan Skenario Terbaik

Jangan ragu dalam pilihan karena pasti ada solusinya. Jangan takut terhadap penolakan karena penolakan tidak semenakutkan itu, malah kita diselamatkan dari hal yang tidak baik. Jangan khawatir dengan penolakan karena pasti ada penerimaan yang lebih baik dan lebih besar daripada sebelumnya. Skenario terbaik terjadi pada waktu, tempat, dan keadaan yang tepat, yang telah diatur sedemikian rupa oleh Sang Sutradara alam semesta.

 

Sleman, 7-8 Agustus 2021
(ditulis tengah malam melewati pergantian hari)


Noviyanti Listyaningrum, S.Si., M.Sc.

Setahun Menjabat Kepala Keluarga

Saturday, October 10th, 2020

Sleman, 10 Oktober 2020

10102020 adalah setahun saya menjadi kepala keluarga. Kok bisa, belum menikah tapi sudah ber(kartu) keluarga/KK? Aneh nggak, perempuan belum menikah dan belum punya pekerjaan tetap tapi sudah menjadi kepala keluarga? Wkwk.

Lho apa alasan punya KK sendiri? Singkatnya, alasan administrasi pendidikan dan ketidaksinkronan antara alamat real dengan alamat KK yang mengakibatkan beberapa kegagalan.

Pada waktu yang spesial ini (10102020) saya akan sedikit berbagi perihal pengurusan KK atau C1. Mungkin detail berkasnya bisa langsung cari informasi di laman dinas atau kantor pemerintahan setempat ya, kalau di sini saya cenderung menceritakan kronologi.

Pertama, mengundurkan diri dari alamat lama. Dulu saya pikir, saya harus urus dengan urutan RT-RW-kelurahan-kecamatan-kota. Ternyata tidak harus! Cukup langsung ke kecamatan. Tapi ya itu sih, harus sedia pas foto 4×6 warna. Nah untungnya kejadian itu adalah 7 bulan setelah wisuda. Ya masih punya lah ya, pas foto keren buat ijazah gitu. Mohon maaf tapi ini jika alamat lama Anda sama dengan saya (Kota Yogyakarta) dan pindah masih dalam satu provinsi. Ceritanya akan berbeda kalau Anda mau ke luar DIY, harus ke dukcapil kota ya.

Kemudian saya urus surat resmi kepindahan/kedatangan di alamat baru. Nah kalau ini harus urut: RT-RW-dukuh-desa-kecamatan-kabupaten (Dukcapil Sleman). Mohon dimaklumi kalau RT sesuai keberadaan ketua RT. Kalau ketua RW, lebih baik datang sebelum jam 7 pagi atau malam sekalian. Kalau dukuh, datang pagi sebelum jam 7. Kalau di desa dan kecamatan, kayak jam kantor sekitar 8an gitu. Sama, di dukcapil juga. Di dukcapil antrenya luar biasa, apa lagi kalau Senin pagi. Pernah suatu hari saya antre dari jam 11, jam 12 terpotong istirahat dong. Kelihatannya masih ada pegawai di balik bangku, tapi jangan harap Anda dipanggil. Itu waktunya istirahat. Jadi, sholatlah dan sebagainya. Nanti jam 13 bakal dipanggil. Jangan putus asa kalau nomor antrean masih panjang. Tenang, di antara banyak pengantre pasti ada yang skip alias menyerah. Itu akan membuat panggilan antrean semakin dekat. Alhamdulillah sih kalau bisa lancar. Tapi mesti ada berkas yang harus difotokopi lagi. Jadi, tetap harus sabar.

Seminggu kemudian, KK jadi. Sebenarnya saya keburu mau kuliah. Alih-alih kuliah, ya sudah saya datang ke dukcapil ambil nomor antrean dulu. Duduk berapa menit. Setelah itu ke kampus. Selesai kuliah, balik lagi. Ternyata nomor antrean sudah terlewat. Ya lalu saya datang ke penjaga nomor antrean. “Pak saya tadi pagi ke sini belum dipanggil-panggil, padahal saya ada kuliah. Ini saya balik lagi lho Pak.” Bapaknya bingung, mungkin tidak tega melihat saya. Akhirnya saya langsung disuruh ke loket tanpa ambil nomor antrean lagi. Ya alhamdulillah.

Ternyata setelah KK jadi, yaudah dipegang untuk kita aja. Ga usah ke kecamatan, desa, dukuh, RW, atau RT lagi. Ga perlu. Nanti sudah otomatis diurus pegawai.

————-

Setelah tahu kalau administrasi itu ribet, jadi bisa membayangkan kan, kalau tiba-tiba ditakdirkan untuk pindah alamat atau terpaksa membuat KK baru? Mungkin termasuk menikah? Atau kalau tiba-tiba ditakdirkan punya anggota keluarga baru? Otomatis urus KK lagi dong. Ya begitulah, dan seterusnya.

————-

Ngomong-ngomong saat kita mengajukan KK baru, otomatis kita mengisi data pribadi kan? Artinya, identitas kita di KTP akan berubah. Ya iyalah, alamatnya aja berubah. Jadi, ketika ambil KK baru di dukcapil, Anda juga akan diberikan surat keterangan pengganti KTP elektronik alias suket. Suket ini masa berlakunya sampai 6 bulan. Menjelang 6 bulan berakhir, coba cek KTP baru di kecamatan atau di dukcapil: sudah jadi atau belum? Kebetulan kalau saya kemarin KTP yang baru jadi dalam waktu 3 bulanan. Padahal saya ambil KTP baru saya 10 bulan setelah KK baru terbit. Duh. Uniknya, KTP lama tidak ditarik.

Meskipun alamat pada KTP dan KK baru, NIK tidak akan berubah. NIK di KTP baru akan sama dengan NIK di KTP lama. Kalau KK, nomornya jelas baru dong, beda dari yang lama karena 6 digit pertama menunjukkan kode wilayah. Misal nih, nomor KK baru 340x0y. 34 itu kode DIY, 0x itu kode Kab Sleman, 0y itu kode Kec Y. Tapi di daftar anggota keluarga, 6 digit pertama NIK pada KK bukan 340x0y. Ya jadinya 34710z, misal. Misal lho ya. 34 itu kode DIY. 71 itu kode (kayaknya hampir seluruh kota di Indonesia pakai 71), dalam hal ini adalah Kota Yogyakarta. 0z itu kode Kecamatan Z. Jadi kalau misalkan besok ada di antara Anda yang menikah dengan orang yang beda kota/kab alamat asal/resmi, 6 digit pertama NIK Anda akan berbeda meskipun tertulis dalam 1 KK. Itu tidak masalah. Nah nanti kalau ada anggota keluarga baru yang belum pernah tercatat sebagai penduduk (baca: anak), 6 digit pertama NIK-nya akan mengikuti kode wilayah KK baru.

————-

Kelihatannya agak gimana gitu ya, kok saya pilih membuat KK baru daripada kembali ke KK orang tua. Ya, alasannya karena pajak kendaraan saya terlanjur di DIY sedangkan orang tua bukan di DIY.

Sejauh ini ada keuntungannya juga punya KK sendiri. Saya tinggal di alamat baru dengan tenang karena resmi secara de jure, diakui ketua RT dan lain-lain. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang kelihatannya ‘numpang’ alamat baru tapi hanya secara de facto. Yang paling terasa adalah saat mendaftar seleksi administrasi CPNS. Alhamdulillah tidak ada masalah administrasi karena semua data diri sesuai dan bisa dipertanggungjawabkan. Setidaknya, KK baru telah mengantarkan saya ke SKD.

————-

Oh ya ngomong-ngomong apa sih bedanya keluarga dengan rumah tangga? Keduanya bisa sama, tapi bisa beda. Tapi definisinya jelas beda. Keluarga itu murni ada hubungan darah (dekat atau jauh), entah sebagai nuclear family atau extended family. Kalau rumah tangga itu satu atau lebih orang yang tinggal bersama-sama di sebuah tempat tinggal dan berbagi akomodasi hidup, gampangnya sih satu dapur. Jadi misal kalau kasusnya antara saya dengan orang tua saya, kami satu keluarga tapi dua rumah tangga. Kenapa? Karena kami punya dua dapur. Kalau orang tua dan anak tinggal di tempat yang sama dan satu dapur, ya jadi satu rumah tangga dong.

Sayangnya, kalau mendengar kata-kata rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari, mesti dikaitkan dengan pernikahan dan keluarga? Hmm, padahal belum tentu. Teman-teman juga pernah ambil mata pelajaran IPS Ekonomi kan dulu di SMP? Diajari gurunya kan, ekonomi itu berasal dari kata oikos dan nomos. Oikos artinya rumah tangga, sedangkan nomos artinya aturan. Ya kali, rumah tangga itu kalau definisinya keluarga. Bukan kan? Jadi jelas, rumah tangga itu belum tentu keluarga. Yang dilihat itu dapurnya atau pengelolaan keuangan (pemasukan dan pengeluaran). Makanya, dalam arti luas, rumah tangga pun bisa berupa rumah tangga perusahaan atau negara. Makanya lagi, pemasukan dan pengeluaran itu sangat penting untuk dicatat.

Pernah dengar petugas BPS tanya, rumah ini isinya berapa KK? Nah ini urusannya beda lagi. Ya bisa jadi rumahnya satu tapi besar, terus isinya orang tua beserta anak-anaknya yang masing-masing sudah menikah dan membuat KK sendiri. Kalau seperti itu, jumlah KK dalam rumah ya dihitung berdasarkan per kepemilikan KK.

————-

Cukup sekian ya. Mohon maaf dan terima kasih.

Salam,
Novi

Kerja-Kerjaan

Tuesday, February 4th, 2020

Kenapa judulnya kerja-kerjaan? Yup. Karena bekerja menurut BPS adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya paling sedikit 1 jam secara terus-menerus dalam seminggu yang lalu (termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi). Nah tapi, di dokumen lain juga ditemukan bahwa syarat bekerja itu minimal 35 jam per minggu. Padahal kegiatan yang akan saya bahas di bawah adalah dunia olimpiade sains. Posisinya sebagai pengajar karena udah lulus SMA wkwk. Gitu sih. Ya kan ngajar bisa termasuk bekerja asal memenuhi syarat di atas. Kalau minimal 1 jam per minggu sih bisa-bisa aja. Tapi kalau syaratnya minimal 35 jam per minggu mah beda lagi. Jadi, dibilang kerja enggak, dibilang nganggur juga enggak. Yaudah, makanya saya kasih judul kerja-kerjaan. Udah gitu, niatnya sih mengabdi, berbagi. Gitu ya.

—————————-

Good afternoon.
How’s life?
Ah alhamdulillah, I’ve passed my first semester in Geo-Information for Disaster Management UGM.
Actually I’d like to tell you a little review about 2018.
Ya jadi waktu itu saya sempat menuliskan di post sebelumnya (http://noviyantilistyaningrum.web.ugm.ac.id/2018/03/03/2018/) bahwa salah satu keinginan saya adalah dapat lowongan mengajar (lagi). Saya pikir, saya hanya akan istirahat karena KKN dan skripsi beberapa bulan saja. At least ada kesempatan di SMA saya lah. Ternyata selama setahun full saya tidak mendapat kesempatan itu. Saya benar-benar vakum dari mengajar, bahkan di sekolah lain pun. Lalu saya masih posthink siapa tahu saya bisa bantu adik-adik mempersiapkan OSK 2019, ternyata I had to prepare my thesis examination, directly followed by judgment (yudisium), then graduation. Huaaa gimana bisa. Akhirnya saya memang tidak berkesempatan. Saya pun berpikir, “Mungkin sudah bukan saatnya lagi saya berkutik di dunia olimpiade sains. Sudah ga pantas. Mending kalau dulu sampai inter, laah di pelatnas 1 aja udah geger.” wkwk. Mungkin Tuhan menggantikan keinginan saya mendapat lowongan mengajar dengan hal lain yang lebih baik.
Tepat 20 Februari 2019 lalu saya wisuda. 27 Feb 2019 OSK dong. Saya sudah ga ada pikiran lagi buat dunia olimpiade sains. Etapi tiba-toba dapat kabar dari rekan saya (FHS), dia minta tolong untuk gantiin ngajar di sebuah SMA swasta. Satu hari aja sih, tanggal 25 Feb 2019. 26 Feb-nya dihandle lagi sama dia. Bingung si, sudah berpikir bahwa saya pesimis buat bisa ngajar lagi tapi ternyata kesempatan itu masih ada 🙂 Oke dengan niat menolong teman, saya iyakan tawarannya. Hmm bagi saya ini terlalu mepet, bagaimana caranya memberikan materi seabrek buat OSK dalam waktu 2 hari saja, sementara jatah saya hanya 1 hari, itu pun 4 jam. Alhasil semaksimal kemampuan dan waktu saja.
Maret, April, hingga awal Mei saya di Kota dan Kabupaten Kediri. Kembali ke Jogja. Lalu Juni saya di Bengkulu. Juli saya di Jogja lagi, tapi mothersitter. Hueee iya itu mbak saya EAL lagi hamil 5 bulan. Selama sebulan dia di Jogja. Saya bantu urus keperluannya, termasuk urusan periksa, makanan, dan berkas wisuda. Agustus saya mulai kuliah lagi sampai selama 1 semester itu berarti awal Januari 2020 lah. Nah alhamdulillah mbak kedua saya bisa wisuda periode Oktober 2019. Orang tua saya mesti ke Jogja Oktober pula. Nah akhir Oktober saya dapat panggilan ke SMA saya lagi coba 🙂
Alhamdulillah ternyata saya ngajar lagi. Hihihi. 4 pertemuan di 2019, dilanjutkan 4 pertemuan lagi di 2020 untuk persiapan OSK 2020. Dan ga cuma itu, saya bertemu salah satu rekan ARCB yang masih aktif di dunia olimpiade sains dengan komunitas bentukannya. Nama komunitasnya adalah Koja (Komunitas Olimpiade Jogja, cek instagram @koja_olimpiade). Alhamdulillah, saya dapat kesempatan mengajar beberapa kali, bahkan 2 bidang (Kebumian dan Geografi). Kebumian saya ditunjang pengalaman di SMA ditambah sedikit kuliah. Kalau Geografi saya memang belum seberapa, tapi banyak sekali ditunjang oleh materi kuliah S1 dan S2. Ya Allah, ga nyangka banget 🙂
Ternyata Tuhan bukan mengganti keinginan/harapan/doaku itu, tapi menundanya dan ditambah dengan lebih luas. Saya tahu, menjadi single fighter mengajar di SMA sendiri itu berat. Justru keterlibatan saya di Koja merupakan collective action, team teaching, memberikan kekuatan tersendiri. Saya bahkan merasa lebih muda. Wkwk karena di Koja, saya termasuk yang agak tua. Saya percaya, kalau udah takdir ya ga akan kemana. Saya percaya, kalau udah rezeki ya ga akan kemana. Tinggal bagaimana doa, usaha, persangkaan baik, dan waktu yang tepat 🙂
Ternyata ternyata ternyata, saya masih pantas untuk berkutik di dunia olimpiade sains. Bahkan di Koja, alumni saja sudah termasuk. Ga harus linier banget nih. Misal dulu olimpiade sains bidang astronomi, kuliah di teknik, itu bukan masalah! That’s why saya punya kesempatan mengajar di 2 bidang karena pengalaman di sekolah menengah dan perguruan tinggi.
Buat semuanya yang pernah, masih, sedang, dan akan mendukung Novi baik secara langsung maupun tidak langsung, semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan. Jazaakumullahu khoiron. Thanks a bunch!

—————-
Sincerely yours,

Noviyanti Listyaningrum, S.Si. (otw M.Sc.)

Summary of 2019

Thursday, December 26th, 2019

Sounds like I will write 365 stories for every single day in 2019. No, I won’t. I’ll make it simpler.

January, I was depressed waiting for my thesis examination. Seriously, I would regret my project in soil lab if I’ve failed to be yudisium (judgment) before end of January. Finally, I’ve got my exam schedule on 9119 or January 9th, 2019. You know what? It was very challenging, having two examiners who were senior among other lecturers. The 1st examiner was soil geography profs, while the 2nd one was the late security coordinator of UGM. Fortunately, the 1st examiner didn’t give me a hard time. I’ve had to face the 2nd examiner, who gave me such a hard time. Alhamdulillah I followed him 3 days respectively to get his signature. Then the 1st examiner. The last, I came to my supervisor to get final signature, both for yudisium and graduation.

February, I was depressed by preparing my graduation day—I, my house, and my family. You know I’ve been living here alone that I’ve big responsibility to take care my parents’ house in DIY. Even February was the highest spending/expenditure among other months in 2019. But at least I still had some saving on my account.

March, I was challenged to live outside DIY, alone. First, I consulted some things to my late supervisor. You know after graduation, it was the 1st time I jumped to quarter life crises. I’d pretend that I’ve no problem with it, but I couldn’t… My decision was continuing studying in university. Before that, I wanted to spend my days exploring my world which had been arranged. During half March, I studied hadith in an Islamic boarding. Many rules there, some of them restricted me and my roommates to go outside. I’d once sick, which let me in to a health room. It might relate to accumulation of unhealthy food (oily), sporadic viruses, and weak condition after stepping under the rain.

The activity in Islamic boarding had been continued until middle of April. Then I studied English in a traditional course named Inspire Pare. I’d been living more freely but my mobility was restricted that I’d only a bicycle. But at least I could have healthy food because the course provided vegetables garden. The thing which had made me sad was about my worship. I could only attend some meeting in mosques.

My English course finished in the one third of May. After that, I came back to Yogyakarta. I prepared some archives to apply scholarship and master. It was Ramadhan. You know, Ramadhan needed me taking a nap in the noon. But I was very delighted to have a chance to live in self-sufficient. I cooked, ate, cleaned myself. Since I realized my self-sufficient, I thought that my kitchen was my laboratory.

In the beginning of June, I decided to go to Bengkulu. My new brother in-law was curious about my parents’ or his parents in-law’s house in Bengkulu. That was why my parents didn’t go to DIY. About 75 % my June was spent in Bengkulu. The weather was hot that I had such a red-convex—disease in my skin. Actually, Yogyakarta weather is hot, but I could adapt myself.

July, I finished my registration to the university, included the local scholarship. I’d no idea what to do in July, but I’d responsibility to finish my thesis journal. Hmm so hard. During that month, I was taking care of my elder sister who was having a pregnancy (about 5 month). I became a cooker, a driver, etc. Well, she left Yogyakarta in the beginning of August.

August was the first time to study in master. I knew, I’ve failed to get local scholarship from faculty. Therefore, I applied other scholarship, which came from Ministry of Education and Culture. My study in master is arranged in blok (stage) or 1 course is fulfilled in some weeks. Yeah, I focused on it till I forgot to finish my thesis journal. For your information, I spent Idul Adha and Indonesia Independence Day myself. I took participation on my parents’ behalf, not only for Idul Adha in my mosque (Pingit) but also for RT 15 events in Independence Day (gymnastics and race walking).

September, I’ve failed in the 2nd scholarship. I didn’t know but it might relate to inconsistency of some archives. The point was that I’d to fill my parents’ biodata, included the family card. Unfortunately, my parents’ family card didn’t count me. I followed my grandma’s family member, which didn’t have electricity record. I learnt something that I should have a good administration not only for applying scholarship but also employment. There in September I attend some meetings for new students, both from the university (OPSMB) and the faculty (general lecture).

October, I’d to prepare my elder sister’s graduation. Yep because I was the host of this house. Luckily, the expenditure didn’t reach the same as in February. The most important thing was I’d have a new family card, and guess what, who is the head? Me! Wkwk. At least I had S.Si. after my last name so it was worthy to be a family head.

November, ah much drama ever. In the beginning, I started to teach Earth Science Olympiad again. The students were so hmm vary. I didn’t know what to say, but I realized that teaching local children was harder than general children (who had better score in National Examination). Then I took participation in field lecture, which might turn me to sick caused by consuming cold drink after warm weather. I was powerless. Then class lecture, followed by field lecture again. The most important thing was my new niece has been born, even I went to Bekasi. In one hand, I’d like to see my niece. On the other hand, I would deliver my sister’s archives to register as civil servant. I also prepared for this, helping me and her.

December, nice to hear that alhamdulillah I passed the administration verification in civil servant. My new niece had aqiqoh. Then… what else? Ah… still, I will continue my study in semester I, doing a project from Ministry of Environment and Forestry as well. Overhead of 4th course/stage will be held on January 10th, 2020. Hmm I also joined Koja (Komunitas Olimpiade Jogja wkwk, created by Ahmad Raditya Cahya Baswara) so I taught some students outside of SMAN 2 Yogyakarta in team teaching. You know, collective action is more efficient than being a single fighter. What else? Remember that I haven’t married yet so I will have to take munaqosyah on December 28th, 2019, followed by PAT on December 31st, 2019. If I join neither munaqosyah nor PAT, I should get married but I’m not sure in this short period, cause I’m still too young. Besides, I am the last daughter who have been left by my elder sisters. A married woman must obey her husband, while a daughter must obey her parents. If I go earlier, who will obey my parents? Wkwk. I still have some dreams to achieve, including preparing my long-term life in the world (one of them is marriage) and in the afterlife.

I think that’s all. Really something.

Noviyanti Listyaningrum, S.Si.